Minggu, 06 Juli 2014

Saya pernah berada di sekeliling orang-orang dengan kemampuan dan bakat tertentu, bahkan sekarang pun masih. Harus saya akui, saya senang berada di sekeliling orang-orang seperti mereka. Kemampuan dan bakat yang mereka miliki pastilah menjadi sebuah kelebihan tersendiri. Rasanya luar biasa jika memiliki salah satu dari apa yang mereka bisa;  melukis, bernyanyi, bermain musik, menulis, olahraga dan lain sebagainya. Kalau perlu jangan tanggung-tanggung untuk bisa menguasai beberapa diantaranya.

Sebagaimana tabiat manusia, saya terkadang membandingkan diri saya dengan mereka. Rasanya seperti saya bukan apa-apa, dan mereka luar biasa. Kemudian ini menjadi masalah pribadi saya. Saya melihat kemampuan dan bakat tertentu yang mereka miliki menjadi daya tarik dan memperkuat keberadaan mereka. Mereka dipuji karena mereka berbakat, mereka disanjung karena mereka bisa berkarya. Mereka mendapatkan perhatian dari orang-orang disekitar mereka dengan kelebihan mereka.

Tidak perlu saya pertegas karena bukan itu yang saya maksudkan, atau bukan itu yang ingin saya dapatkan. Saya sudah pernah menikmati pujian atau pun sanjungan, dan saya tidak sedang mengejar itu di dalam hidup saya. Ini sekedar keinginan atau hanya pemikiran orang seperti saya untuk mendapatkan kepuasaan dan kebanggaan tersendiri. Saya gambarkan seperti ketika saya mendapat ranking pertama di sekolah, untuk merasakannya, tidak perlu orang tua, guru, ataupun teman-teman memuji saya, atau sekedar kata-kata: "Wah, hebat ya kamu" atau "Kamu memang pintar". Cukup hanya dengan melihat angka satu yang tertera pada kolom rangking di dalam raport saja saya sudah akan merasa puas dan bangga. Entah ini terkesan naif atau apa, yang pasti saya menyatakan dengan apa adanya.

Lalu tentang kelebihan lain yang orang miliki, seperti: memiliki keluarga yang harmonis, tidak pernah kekurangan materi, memiliki penampilan yang menarik. Terkadang ini menjadi begitu bermasalah karena terlalu jauh membandingkan diri saya dengan mereka. Tetapi pada akhirnya saya semakin sadar dan semakin sadar, bahwa segala sesuatu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya merasa mereka lebih sempurna karena saya tidak memiliki apa yang mereka miliki. Tetapi mungkin saja mereka merasakan hal yang sama terhadap saya atau orang lain selain mereka.

Perlu saya katakan kepada diri saya sendiri bahwa jangan sampai sesuatu yang saya inginkan membuat lupa apa yang telah saya miliki. Karena itu adalah salah satu yang akan menjauhkan saya dari syukur.

Selasa, 01 Juli 2014

Penat

Kali ini saya sangat terobsesi dengan kalimat "Namanya juga manusia, Tuhan yang menentukan, kita yang menjalani, dan orang lain yang berkomentar". Sebuah kalimat yang menurut saya sangat super untuk tidak terlalu memperdulikan perkataan negatif orang lain tentang kita atau katakan tentang saya. Memang harus saya akui bahwa saya sangat sensitif dengan hal seperti ini. Karena sudah pasti ini sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Atau yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah ketika saya mencoba untuk berbuat sesuatu dengan niat baik tetapi justru disalah artikan dan dianggap tidak baik dan bahkan salah. Lalu ada hal yang jauh lebih tidak menyenangkan bahkan menyakitkan, yaitu ketika saya dianggap melakukan sesuatu yang sama sekali tidak saya lakukan.

Saya memiliki masalah pribadi dengan diri saya. Sehingga ketika saya berada dalam sebuah komunitas tertentu, sulit sekali memberikan pengertian tentang diri saya dan terkadang terlalu muluk apabila saya terlalu berharap orang lain akan mengerti. Mungkin tidak hanya saya, mungkin saja ini terjadi pada setiap orang. Saat hendak tidur atau sedang di dalam bis dalam sebuah perjalanan, saya hampir selalu merenung dan berpikir. Sampai kepada sebuah titik, akhirnya saya sadar untuk berhenti berharap orang lain akan mengerti saya. Karena tidak mungkin semua orang akan bisa mengerti, bisa jadi saya atau pun kamu terkadang sulit untuk mengerti orang lain. Setiap kepala mungkin memiliki otak yang sama, tetapi isi dari setiap otak pastilah berbeda. Seperti pepatah arab mengatakan "likulli ro'sin ro'yun".

Menjadi orang baik akan memberikan ketenangan dan kedamaian. Maka saya berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dan lebih baik setiap harinya. Untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian yang saya inginkan. Tetapi ternyata tidak semudah itu, tidak mudah menjadi orang baik dan meyakinkan orang lain bahwa saya ini baik dan tidak akan berbuat jahat. Karena baik ternyata relatif, mungkin baik untuk saya tidak untuk kamu, dia atau mereka. Saya baik versi saya, bukan baik versi kamu, dia, atau mereka. Karena saya hidup bukan untuk menjadi apa yang orang lain mau
. Baik atau buruk biar menjadi urusan saya dengan Tuhan.

Rasanya pamrih apabila saya berharap orang lain berlaku adil. Artinya ketika saya bersikap baik maka saya ingin orang lain pun harus bersikap baik kepada saya. Tetapi lagi-lagi ini adalah bagian dari hidup dan tabiat manusia. Maka ada sebuah kalimat yang ingin saya katakan kepada diri saya sendiri, yaitu: Jika kamu berharap dunia akan adil terhadapmu karena kamu telah berlaku adil, maka sebenarnya kamu sedang membodohi dirimu sendiri. Karena itu sama saja dengan meminta seekor singa untuk tidak memakan kamu karena kamu tidak memakan singa itu.

Saya meminta kepada Tuhan untuk selalu diberi kesadaran diri. Kesadaran diri menjadikan saya orang yang peka. Peka akan hakikat diri saya, peka akan lingkungan dan orang-orang di sekitar saya. Dan kepekaan ini mendekatkan saya kepada syukur. Tetapi manusia tetaplah manusia. Dan saya adalah salah satu dari manusia itu, terkadang terlalu asyik dan terlena sehingga saya lupa dan juga berlaku salah.

Jumat, 13 Juni 2014

Dua Puluh Dua

Saya tidak tahu bagaimana untuk mengawali tulisan ini. Dan saya memilih untuk tidak mau memikirkannya karena saya tahu saya akan berpikir lama. Jika saya berpikir, hanya ada dua kemungkinan; saya tidak jadi menulis atau tetap menulis tetapi tentu saja saya telah membuang-buang waktu.

Jadi, kemarin umur saya telah bertambah satu. Itu artinya pertemuan saya dengan Tuhan semakin dekat. Jangan tanya kenapa saya berpikir seperti itu. Saya hanya ingin bersikap jujur, jujur pada apa yang ada di dalam kepala saya. Bukan berarti saya ingin cepat-cepat mati. Tentu saja bukan. Kalau boleh saya mengatakan. Saya belum memenuhi seluruh surat perjanjian saya dengan Tuhan. Surat yang dibuat sebelum saya lahir. Surat ini Tuhan tanda tangani dengan kehidupan sehingga saya bisa melihat dunia.

Saya tidak khawatir dan takut pada umur yang semakin bertambah. Saya percaya Tuhan itu maha segala-galanya. Saya sudah membuat permohonan, dan tentu saja permohonan baik. Karena Tuhan itu baik dan mencintai yang baik. Tetapi apabila saya mati sebelum merasakan permohonan itu atau bahkan sebelum sempat merasakan teriknya matahari besok. Percayalah, bahwa Tuhan sangat mencintai saya. Dan mencintai kita semua. Lalu bagaimana dengan yang jahat, dan kenapa harus ada yang jahat? Mudah saja, karena Tuhan itu Maha Adil. Hanya saja kita tidak melihat keadilan dari perspektif yang sama. Itu menurut saya. Silahkan menurut kamu.

Saya bahagia karena saya diberkahi oleh Tuhan. Dan jika saya sedih, itu karena saya mengurangi berkah itu. Lagi-lagi itu menurut saya. Silahkan menurut kamu.
Soal beradaptasi dengan hidup seperti dalam sebuah hubungan. Saya tidak akan pernah meminta seseorang untuk menetap dan tinggal dalam hidup saya. Karena pada hakikatnya saya tunggal, dan kita semua tunggal. Karena baik saya ataupun kamu hanya dijatahi satu liang lahat untuk sendiri. Tidak apa-apa kalau kamu tidak setuju. Hanya saya ingin mengatakan :
Kalau kamu ingin masuk ke dalam hidup saya. Pintunya selalu terbuka. Begitu juga sebaliknya, jika kamu ingin keluar dari hidup saya, pintunya akan tetap terbuka. Hanya satu permintaan saya. Jangan berdiri di pintu karena kamu akan menghalangi yang lainnya.

Belajar dari masa lalu, saya memperlakukan orang lain dengan baik karena saya ingin mereka memperlakukan saya dengan baik pula. Mencintai mereka agar mereka mencintai saya. Ini adalah fase yang cukup lama, dan akhirnya saya banyak merasakan sakit. Bagaimana bisa? Mudah saja menjelaskannya, seandainya dalam sebuah hubungan, katakan pertemanan. Kamu memperlakukan temanmu dengan baik bahkan seperti saudaramu sendiri, lalu dia memperlakukanmu sebaliknya, atau bersikap baik dan manis di depanmu tetapi menusuk dengan belati dari belakang. Bagaimana perasaanmu? Tidak perlu kamu beritahu saya, simpan saja untukmu.
Karena saya takut, saya juga adalah orang yang diperlakukan baik oleh orang lain diluar sepengetahuan saya.

Sabtu, 07 Juni 2014

Perkara Menulis

Perkara menulis...
Rasanya hampir setiap waktu, saya ingin menulis. Menulis tentang ini dan itu. Sudah lama sekali, bertahun-tahun. Tetapi semua tertunda begitu lamanya, sampai menjadi hantu yang usil di dalam kepala. Entah apakah saya benar-benar ingin menulis atau hanya ingin lari.
Lari dari apa ? Mungkin lari dari hidup. Sejujurnya saya ingin mengatakan: iya.
Tetapi sepertinya berat, lari dari hidup berarti mati. Saya belum ingin mati, atau tepatnya saya ingin mati tetapi rasanya belum siap. Namun dari itu semua, saya tidak ingin menyerah. Menyerah dari hidup. Semoga.

Baiklah. mungkin yang akan saya tulis adalah semua yang terpendam di dalam kepala. Semua kebodohan dan kepintaran yang saya miliki. Tentang pikiran di masa lalu. Lalu tentang kekhawatiran di masa depan. Banyak sekali. Terkadang membuat saya kesal tetapi juga menyukainya di waktu yang bersamaan. 



Pernah saya mengeluh. Suatu ketika saat saya telah mengambil posisi untuk menulis. Tiba-tiba pikiran saya pecah. Ibarat kawanan burung yang terbang berhamburan meninggalkan tempat mereka berkumpul karena terusik oleh batu atau kaleng yang dilempar kearah mereka. Apa yang sebelumnya saya ingin tuliskan hilang begitu saja. Kemudian saya meninggalkan posisi dan tidak jadi menulis. Begitu seterusnya. Selalu terulang-ulang.

Pernah saya bertanya. Pertanyaan untuk diri saya. "Kenapa saya tidak mulai menulis? Kenapa selalu tertunda?". Jawaban yang muncul di dalam kepala saya terlalu banyak. Sehingga sulit menentukan satu jawaban yang paling tepat dan pas untuk diri saya. Lalu saya bertanya kepada seorang teman. Saya mendapat jawaban yang sangat simpel. "Berhenti bertanya kenapa. Jika kamu ingin menulis. mulailah menulis sekarang".

Akhirnya muncul sebuah pikiran, bahwa saya ingin memiliki sebuah tempat. Tempat dimana saya bisa bercerita. Tempat dimana saya bisa menumpahkan isi di dalam kepala saya, tentang segala hal dari kehidupan ini. Banyak sekali. 

Pertanyaan untuk diri saya. Apakah saya akan bertahan menulis ? Mudah-mudahan saja begitu.

Senin, 02 Januari 2012

PONDOK

Pondok Pesantren Daar Er-qolam II
Cerita pendek sederhana ini, hanya sebagai ungapan rasa rindu terhadap "Pondok" yang sudah mendidik dan mengajari tentang banyak hal selama 6 tahun. Ini modal dasar untuk mengenal tantangan hidup. Kalau hidup itu memang butuh perjuangan dan juga pengorbanan. Tetapi dari semua itu, saya bisa mengenal lebih dekat lagi mengenai agama.  Terima kasih pondok karena sudah ikut berperan dalam membangun karakter  yang ada didalam diri saya dan semua orang yang merasakan hal yang sama dengan saya.  Selamat membaca :)


Diceritakan sebuah kisah tentang seorang ‘alim yang tinggal di sebuah daerah terpencil jauh dari suasana keramaian kota dan hidup bersama lingkungan keluarga yang taat beragama. ‘Alim tersebut bernama Ibnu Hafidz, ia adalah bekas seorang santri yang dikenal cerdas dan bersahaja. Pada usianya yang masih terbilang sangat muda, ayahnya memasukannya ke sebuah pondok pesantren yang berjarak sangat jauh dari kampung halamannya. Namun Abdul Basit tidak pernah menolak, apalagi mengeluhi apa yang diperintahkan kedua orang tuanya. Setelah usai menyelesaikan pendidikannya selama 9 tahun lamanya, sebagai santri dan juga ustad. Abdul Basit kembali ke kampung halamannya, untuk memenuhi permintaan orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lamanya ditinggalkan demi  menuntut ilmu di Pesantren itu.
Beberapa bulan telah berlalu, tiba-tiba saja ia merasakan gelisah yang teramat sangat. Ia merasakan  keberadaannya seperti hampa, ia berpikir ilmu yang selama ini didapatnya  tidak lagi bermafaat. Ia ingin kembali ke Pesantrennya dulu. Dimana ia bisa belajar dan mengajar mengaji. Dimana ia bisa membagikan ilmu yang ia miliki kepada anak-anak didiknya. Dimana ia bisa berkumpul bersama-sama orang yang shaleh. Mendengarkan lantunan ayat qur’an ketika menjelang tiap-tiap waktu shalat. Baginya, semua itu adalah hal yang indah. Hingga pada suatu hari timbullah keinginannya untuk menceritakan semua itu kepada ayahnya.
Usai melaksanakan shalat sunnah hajat, Ibnu Hafidz keluar mengampiri ayahnya yang tengah duduk di depan teras, matanya yang sudah agak sayup memandangi sekitar lahan sawah yang berada di seberang jalan kecil rumahnya. Tangannya yang terlihat rapuh  memegangi tasbih kusam berwarna coklat kayu. Diatas teras tempatnya duduk, ada segelas kopi yang masih hangat. Perlahan-lahan ia mendekati ayahnya itu.
Ayah”, ucapnya kemudian segera mencium kedua punggung tangan ayahnya.
“Hafidz, ada apa nak? Tidak seperti biasanya kamu terlihat gugup seperti itu”, tanya ayah kemudian menyuruhnya untuk duduk di sampingnya.
“Ayah, ada suatu hal yang ingin Hafidz utarakan kepada ayah. Ini menyangkut masalah tanggung jawab Hafidz, 9 tahun lamanya menahan pedih, jauh dari ayah dan ibu demi menuntut ilmu di Pesantren. Tetapi setelah kini Hafidz dapatkan, walupun itu masih sangat jauh dari sempurna. Hafidz merasa tiada bermanfaat ilmu itu kalau tidak diajarkan kepada mereka yang berhak” keluhnya.
Ayahnya tersenyum lalu bertanya “lantas apa keinginanmu sekarang ?”, tanpa menoleh sedikit pun ke arah anaknya itu. Walupun sebenarnya ayahnya tahu maksud keluhan anaknya itu.
Dengan ragu-ragu ia berkata, “izinkanlah Hafidz untuk kembali ke pesantren, agar Hafidz bisa mengajar lagi” ucapnya dengan nada rendah.
Ayahnya pun berdiam sejenak dan menjawab permintaanya anaknya itu, “Lantas bagaimana dengan kami disini, Hafidz. Kami sudah sangat tua dan hanya kamu satu-satunya harapan dan harta kami. Apakah kamu akan tega meninggalkan kami yang sudah renta seperti ini?”.
“Maafkan hafidz ayah, hafidz tidak bermaksud untuk membuat ayah dan ibu bersedih”, merunduk menyesal, “akan tetapi”. Tiba-tiba saja ia menghentikan ucapanya, khawatir akan membuat ayahnya akan lebih merasa sedih.
“Anakku hafidz” menoleh ke anaknya dan kemudian melanjutkan perkataanya, “lihatlah anak-anak yang sedang bermain di sawah itu!” sambil menunjuk ke arah sawah yang berada di seberang jalan.
“Apakah mereka tidak layak dan berhak untuk mendapatkan pendidikan ilmu seperti halnya anak-anak yang pernah kamu ajarkan dan kamu didik disana?”. Tanya ayahnya.
“Maksud ayah?”, ia terheran dan tidak lama kemudian ayahnya pun segera menjelaskannya,
“Anak-anak yang bermain di sawah itu, sama halnya dengan anak-anak yang kamu ajarkan disana. Mereka juga membutuhkan dan berhak mendapatkan didikan yang sama. Tetapi tidak banyak yang sadar akan hal itu. Adapun mereka yang sadar dan perduli akan masa depan anak-anak mereka, tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada tenaga pengajar yang mampu untuk mendidik dan mengajari anak-anak mereka. Apakah kamu akan membiarkan mereka terus-menerus seperti itu. Tidak memiliki bekal ilmu yang memadai untuk masa depan mereka nanti. Dan yakinlah anakku,                                                                                                bahwa mereka yang disana tidak akan merasa kekurangan pengajar sepertimu”. Hafidz terdiam memahami semua maksud dari perkataan ayahnya, sembari beristighfar air matanya mengalir membasahi pipinya.
“Terima kasih ayah, Hafidz benar-benar lalai sehingga tidak mengetahui keberadaan dan keadaanya anak-anak itu. Jika ayah mengizinkan, Hafidz akan menjadi guru bagi mereka sebagai tanda pengabdianku kepada ayah dan ibu dan juga tanggung jawabku kepada Sang Maha Pencipta.
Beberapa hari setelah percakapan tersebut, Ibnu Hafidz mulai berpikir. Mungkin merenungi apa yang telah ayahnya ucapkan waktu itu. Ia seperti mulai mendapatkan kunci jawaban dari kegelisahan hatinya selama ini. Di gudang belakang yang terletak tidak jauh da samping rumahnya. Dia menghabiskan waktunya disana sepanjang hari. Hanya sesekali keluar untuk sekedar melaksanakan shalat. Ia pun tidak mengizinkan kedua orang tuanya tahu apa yang ia kerjakan di gudang itu. Hingga sempat membuat keduanya khawatir, tetapi hanya satu kalimat yang ia katakan kepada orang tuanya apabila mereka menanyakan hal itu.
“Nanti ayah dan ibu pasti akan tahu” katanya.
Kedua orang tuanya tidak banyak memaksa. Hingga sebulan pun berlalu, ia mengajak kedua orang tuanya ke gudang itu. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat gudang yang terlihat kusuh dari luar namun di dalamnya kini terlihat bersih, rapih, dan tidak ada lagi barang-barang bekas yang hhvdulu pernah disimpan disini. Tampak terlihat seperti di dalam sebuah Mushalla sederhana. Karena terdapa\t ukiran-ukiran kaligrafi yang bertuliskan sebagian ayat-ayat al-qur’an dan hadits di setiap dinding dan lurus melintang mengitari gudang. Tikar kusam yang terbuat dari anyaman daun kelapa terhampar menutupi lantai tanah. Dan terdapat dua meja lesehan kecil, di atasnya tertumpuk beberapa al-qur’an yang sudah kusam. Di sampingnya, tepat di pojok gudang berdiri sebuah papan yang disangga dengan dua batang kayu yang sepertinya memang bukan disitu tempatnya dan terlihat seperti sebuah plang sebuah nama bertuliskan “ Pondok Daarul Huda “. Ibunya berbalik arah mengahadap Ibnu Hafidz lalu merangkulnya dengan berlinang air mata karena terharu akan perjuangan anaknya itu. Di sampingnya, sang ayah pun tidak sanggup membendung air matanya karena hal yang sama.
Apa yang yang dibuatnya sekarang bukanlah pondok yang bisa banyak menampung anak-anak yang haus akan ilmu serta didikan. Melainkan sebuah tempat pengajian kecil tetapi mereka juga diajarkan dan dibekali dengan ilmu-ilmu agama dan umum walaupun tidak sebaik sebagaimana hal-nya di sekolah. ini membuahkan hasil karena ada sebagian orang yang mau menjadi relawan untuk mengfasilitasi kebutuhan belajar mereka. Hingga selesai angkatan pertama ada sebagian dari mereka yang memilih untuk menjadi pengajar secara cuma-cuma bagi generasi selanjutnya sebagai rasa terima kasih dan balas budi. Salah seorang pengajar wanita dari mereka yang bernama Ayu Aisyah kini menjadi istri Ibnu Hafidz. Dia merupakan mantan muridnya yang sangat cantik dan cerdas. Ibnu Hafidz menikahinya setelah ayahnya wafat. Ketika itu usianya memasuki kepala tiga. Dia dan istrinya mengurusi pondok itu sampai anaknya yang pertama berusia 10 tahun. Ibunya meninggal menyusul ayahnya.
Bergulirnya waktu telah merubah dan menyulap bekas gudang yang dulu hanya tempat pengajian kecil yang disebut pondok. Tetapi kini sudah lain. Gudang itu sudah tidak ada lagi, yang ada hanya sebuah komplek asrama dan di tengah-tengahnya berdiri kokoh sebuah masjid besar. Bersih, rapih, banyak tanaman hias tumbuh, pohon-pohon sunai berjajar di pinggir jalan kecil asrama, terdapat banyak slogan-slogan indah dan kata-kata mutiara dalam bahasa arab memenuhi plang-plang di sekitarnya. Benar-benar telah berubah. Bukan lagi pondok kecil seperti dulu melainkan pondok besar yang disebut pesantren. Pesantren Daarul Huda. Yang kini berusia 20 tahun.
Ibnu Hafidz duduk di sebuah makam terbuat dari keramik merah pekat. Makam kedua orang tuanya yang bersebelahan. Diantara kedua makam tersebut tumbuh sebuah pohon yang merunduk rindang. Mulutnya tampak sedang komat-kamit membacakan sebuah do’a namun tidak jelas. Ia tidak semuda dulu bahkan sudah sangat tua sekali. Rambutnya telah memutih ditutupi seperti menyatu dengan peci putih yang ia kenakan di kepalanya, kulitnya pun telah kendor, sebuah kacamata minus menggantung diantara kedua telinganya. Tanpa terasa air mata mengalir mengikuti garis wajahnya yang keriput.  Dirinya membatin, apa yang diucapkan. Entahlah. Telalu lama ia duduk di makam itu. Hanya sepertinya ia merasa kedua orang tuanya sedang tersenyum manis padanya sekarang.
“Mari ayah, sebentar lagi akan turun hujan. Tidak baik untuk kesehatan ayah” suara seorang lelaki yang masih muda dan tampan yang dari tadi berdiri menemaninya. Laki-laki itu merangkul lembut tubuh Ibnu Hafidz yang renta dan membantunya berdiri. Kemudian perlahan-lahan membawanya menuju sebuah mobil Avanza hitam yang tidah jauh diparkir di sekitar pemakaman. Ia hanya diam. Di dalam mobilnya seorang wanita paruh baya namun masih terlihat segar tersenyum ke arah keduanya.  Kemudian turun membantu laki-laki tua itu masuk ke mobil. Wanita itu adalah ibu laki-laki muda tampan tersebut, istri dari Ibnu Hafidz. Wajahnya masih terlihat belum tua hanya bagian lehernya saja.
“Langsung pulang saja Ikram, ibu khawatir dengan keadaan ayahmu” kata wanita itu kepada anaknya.
“baik umi” balasnya. Dan tanpa banyak berkata lagi ia mengemudikan mobilnya keluar area pemakaman dan melesat menjauh. Di perjalanan wanita itu terlihat terus mengusap kedua tangan suaminya yang tersasa dingin. Namun ia hanya terdiam tidak bergerak. Hingga membuat istrinya semakin cemas. Matanya yang redup terus menerawang ke depan. Perlahan-lahan matanya mulai terkatup. Nafasnya ikutan melemah. Segera saja mobil itu berhenti tepat di bawah plang besar bertuliskan “ Pondok Pesantren Daarul Huda”. Laki-laki renta itu menghembuskan nafas terakhirnya yang kemudian diiringi linangan air mata anak dan istrinya.

Kamis, 08 Desember 2011

Empat Macam Watak Manusia

Singa dari kepribadian koleris
Saya merasa sangat tertarik tentang pembahasan watak manusia. Kemudian saya mencari informasi tentang hal ini. Kemudian saya mendapatkan ini.

TERNYATA, ada empat watak utama yang dimiliki manusia. Ingat ya, watak dan otak itu BEDA. Kalau ingin tahu apa bedanya, silahkan tanya mbah google saja. Hahaha. Dan orang pertama yang menemukannya adalah Hippocrates pada 400 tahun SM. Selain keempat watak ini, ada juga watak perpaduan antara ke-empatnya. Lalu apa yang membuat diri kamu begitu istimewa?

Banyak hal yang bisa kita temukan betapa hebat dan kreatif Tuhan membuat kita dalam kepribadian plus.

Tidak Ada Dua Orang yang Sama

Kalau kita semua seperti telur yang identik dalam sebuah karton, seekor ayam betina raksasa bisa menghangatkan kita dan mengubah kita menjadi anak ayam yang manis/ ayam jago yang gagah dalam sekejap mata, tetapi kita semua berbeda. Kita semua dilahirkan dengan rangkaian kekuatan dan kelemahan kita sendiri, dan tidak ada rumus ajaib yang bisa bekerja seperti mukjizat bagi kita semua. Sebelum kita mengenal keunikan kita, kita tidak bisa memahami bagaimana orang bisa duduk dalam seminar yang sama dengan pembicara yang sama dalam jumlah waktu yang sama pula dan semuanya mencapai tingkat sukses yang berbeda-beda.

Kepribadian Plus melihat kepada diri kita masing-masing sebagai individu yang merupakan campuran dari empat watak dasar dan mendorong kita untuk mengenal kita yang sesungguhnya dari dalam sebelum berusaha mengubah apa yang tampak pada permukaan.
Dari sini Anda akan mengetahui apakah Anda :
> Seorang Sanguinis yang spontan, lincah, dan periang
> Seorang Melankolis yang penuh pikiran, setia, tekun
> Seorang Koleris yang suka petualangan, persuasif, percaya diri
> Seorang Phlegmatis yang ramah, sabar, puas
atau perpaduan dari sifat-sifat di atas.

1.  Kepribadian Sanguinis “Populer” (ekstrovert - Membicar -  Optimis)

·        Kekuatan Emosi Sanguinis Populer
Kepribadian yang menarik, suka berbicara, Menghidupkan pesta, Rasa humor yang hebat, Ingatan kuat untuk warna, Secara fisik memukau pendengar, Emosional dan demonstratif, Antusias dan ekspresif, Periang dan penuh semangat, Penuh rasa ingin tahu, Baik di panggung, Lugu dan polos, Hidup di masa sekarang, Mudah diubah, Berhati tulus, Selalu kekanak-kanakan.
·        Sanguinis di dalam pekerjaan
Sukarelawan untuk tugas, Memikirkan kegiatan baru, Tampak hebat di permukaan, Kreatif dan inovatif, Punya energi dan antusiasme, Mulai dengan cara cemerlang, Mengilhami orang lain untuk ikut, Mempesona orang lain untuk bekerja.
·        Sanguinis Populer Sebagai Teman
Mudah berteman, Mencintai orang, Suka dipuji, Tampak menyenangkan, Dicemburui orang lain, Bukan pendendam, Cepat minta maaf, Mencegah saat membosankan, Suka kegiatan spontan.
·        Sanguinis Populer Sebagai Orang Tua
Membuat rumah menyenangkan, Disukai teman anak-anak, Mengubah bencana, menjadi humor, Merupakan pemimpin sirkus

2.  Kepribadian Melankolis "Sempurna" ( Introvert – Pemikir – Pesimis )

·        Emosi Melankolis Tempura
Mendalam dan penuh pikiran, Analitis, Serius dan tekun, Cenderung jenius, Berbakat dan kreatif, Artistik atau musical, Filosofis dan puitis, Menghargai keindahan, Perasa terhadap orang lain, Suka berkorban, Penuh kesadaran, Idealis.
·        Melankolis di dalam Pekerjaan
Berorientasi jadwal, Perfeksionis, standar tinggi, Sadar perincian, Gigih dan cermat, Tertib dan terorganisasi, Teratur dan rapi, Ekonomis, Melihat masalah. Mendapat pemecahan kreatif, Perlu menyelesaikan apa yang dimulai, Suka diagram, grafik, bagan, daftar.
·        Melankolis Tempura Sebagai Teman
Hati-hati dalam berteman, Puas tinggal di latar belakang, Menghindari perhatian, Setia dan berbakti, Mau mendengarkan keluhan, Bisa memecahkan masalah orang lain, Sangat memperhatikan orang lain, Terharu oleh air mata penuh belas kasihan, Mencari teman hidup ideal.

3.  Kepribadian Koleris "Kuat" ( Ekstrovert – Pelaku – Optimis )

·        Emosi Koleris Kuat
Berbakat pemimpin, Dinamis dan aktif, Sangat memerlukan perubahan, Harus memperbaiki kesalahan, Berkemauan kuat dan tegas, Tidak emosional bertindak, Tidak mudah patah semangat, Bebas dan mandiri, Memancarkan keyakinan, Bisa menjalankan apa saja.
·        Koleris Kuat di dalam Pekerjaan
Berorientasi target, Melihat seluruh gambaran, Terorganisasi dengan baik, Mencari pemecahan praktis, Bergerak cepat untuk bertindak, Mendelegasikan pekerjaan, Menekankan pada hasil, Membuat target, Merangsang kegiatan, Berkembang karena saingan.
·        Koleris Kuat Sebagai Teman
Tidak terlalu perlu teman, Mau bekerja untuk kegiatan, Mau memimpin dan mengorganisasi, Biasanya selalu benar, Unggul dalam keadaan darurat.
·        Koleris Kuat Sebagai Orang Tua
Memberikan kepemimpinan kuat. Menetapkan tujuan, Memotivasi keluarga untuk kelompok, Tahu jawaban yang benar, Mengorganisasi rumah tangga.

4.  Kepribadian Phlegmatis "Damai" ( Introvert – Pengamat - Pesimis )

·        Emosi Phlegmatis Damai
Kepribadian rendah hati, Mudah bergaul dan santai, Diam, tenang, dan mampu, Sabar, baik keseimbangannya, Hidup konsisten, Tenang tetapi cerdas, Simpatik dan baik hati, Menyembunyikan emosi, Bahagia menerima kehidupan, Serba guna.
·        Phlegmatis Damai di dl dalam Pekerjaan
Cakap dan mantap, Damai dan mudah sepakat, Punya kemampuan administratif, Menjadi penengah masalah, Menghindari konflik, Baik di bawah tekanan, Menemukan cara yang mudah.
·        Phlegmatis Damai Sebagai Teman
Mudah diajak bergaul, Menyenangkan, Tidak suka menyinggung, Pendengar yang baik, Selera humor yang menggigit, Suka mengawasi orang, Punya banyak teman, Punya belas kasihan dan perhatian.
·        Phlegmatis Sebagai Orang Tua
Menjadi orang tua yang baik, Menyediakan watku bagi anak-anak, Tidak tergesa-gesa, Bisa mengambil yang baik dari yang buruk, Tidak mudah marah.


Kita juga akan bisa mengetahui bagaimana cara terbaik untuk menggunakan aset anugerah Tuhan yang unik ini. Untuk mendatangkan keserasian dalam semua hubungan kita. Florence Littauer menjelaskan : ”Setelah kita tahu siapa diri kita dan mengapa kita bertindak dengan cara seperti yang kita lakukan, kita bisa mulai memahami jiwa kita, meningkatkan kepribadian kita, dan belajar menyesuaikan diri dengan orang lain.”
Begitu kita memahami bagaimana cara mengeluarkan apa yang terbaik dari diri kita, kita akan mendapatkan bahwa orang lain juga kelihatan lebih baik. Temukanlah orang yang selalu kita inginkan untuk menjadi Kepribadian Plus.

Demikian 4 karakter dasar yang telah ditemukan oleh Hipocrates 400 tahun SM. Dengan ini gue berharap, kita yang telah membaca artikel ini dan memahaminya. Kita dapat mengetahui karakter atau watak kita masing-masing. Dan begitu juga bisa mengerti karakter orang-orang disekitar kita, baik itu teman, keluarga , atau mungkin pacar kita dan lain-lainya. Sehingga kita dapat menyesuaikan diri dan kita tahu bagaimana cara mengahadapi tipikal dari Empat karakter yang berbeda tersebut dengan cara yang berbeda pula.

Sabtu, 03 Desember 2011


  PEMUJA RAHASIA

Di hari jum’at yang cerah seusai melaksanakan shalat jum’at berjamaah di  masjid Al-Anshar, masjid utama dipondok ku yang terletak di kawasan asrama putra.  Aku duduk santai diatas ranjang tempat tidur sambil membaca buku yang kupinjam  dari bagian perpustakaan pondok kemarin, aku sangat menikmati saat-saat seperti  ini. Pasalnya, tak seorang pun di kamar selain diriku. Biasanya para santri yang  tidak dijenguk oleh keluarganya lebih sering menghabiskan waktu libur hari ini  dengan pergi ke laboratorium komputer untuk chatting atau online sampai waktu  shalat ashar tiba, adapun mereka yang dijenguk oleh keluarganya mereka terlihat senang berbincang-bincang di saung-saung dengan orang tua mereka sambil  menikmati makanan yang mereka pesan jauh-jauh hari sebelum kedatangan  keluarganya. Bahkan tak jarang ada yang merengek-rengek dan menangis karera ingin pulang.

Assalaamu’alaikum” terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar  kamar. ”wa’alaikumussalaam” jawabku, aku yang tengah asyik membaca buku pun  segera beranjak dari tempat tidur untuk melihat siapa yang datang. Ternyata  seorang anak yang kukenal, Dia adalah salah satu anggota kelompok pengajianku. Namanya  Ilham. Dia berdiri tepat didepanku, kedua tangannya menenteng sebuah kantong plastik besar berwarna putih.
excusme brother, I bring something for you” ia menyodorkan kantong  itu kepada ku.

for me..? Oh thank a lot my lil”brother” jawabku heran. “you are welcome” balasnya. Tanpa sempat bertanya dari siapa kantong palstik itu, dia mencium punggung tanganku  dan pamit untuk pergi. Aku hanya diam dan heran. Sebenarnya aku masih penasaran  dari siapa kiriman itu? Apa maksudnya, kenapa orang ini baik sekali terhadapku. Padahal aku bukanlah orang yang istimewa di pondok ini. Ah sudahlah mungkin ini  yang disebut Rizki Tuhan yang dating tiba-tiba. Sejenak kulirik isi katong plastik itu. Didalamnya ada bebrapa bungkus mie instant, tiga minuman kaleng, kue Dan beberapa buah jeruk segar. Kemudian kuletakkan kantong  plastik yang berisi makanan dan minuman itu dalam lemari kemudian kembali ke  ranjang tidurku untuk melanjutkan bacaan ku yang sempat tertunda. Namun entah  kenapa? Aku jadi malas melanjutkannya, pikiranku melayang-layang dipenuhi  pertanyaan karena penasaran dari siapa kiriman itu?? Akhirnya kurebahkan tubuh ku  diatas kasur yang sudah lapuk dan tenggelam bersama mimpi.

Esoknya aku kembali belajar formal seperti biasanya dan datang lebih awal karena  mendapat jadwal piket hari ini. Kuletakkan buku pelajaran beserta tempat pulpen di atas meja. Kemudian kuambil sapu yang bersender di pojok kelas dan mulai menyapu sesekali merapikan posisi meja dan kursi yang berantakan. Disaat merapikan salah satu meja tak sengaja kutemukan buku kecil bersampulkan  kertas kado berwarna merah jambu. Kuperhatikan buku itu, tertulis sebuah nama  pemilik bukunya “NARA ANGGITA“

Nama yang sepertinya aku kenal. Tapi kenapa ada  disini, di tempat dudukku. Ingin rasanya aku membacanya tapi tidak mungkin, aku tidak  berhak membacanya tanpa seizin pemiliknya terlebih dahulu. Akhirnya kuletakkan  buku itu di tengah-tengah tumpukan buku pelajaran ku. Mungkin saja pemiliknya  akan datang untuk mengambilnya nanti, pikirku. Sampai bel pelajaran kedua  berbunyi buku  itu tetap pada tempatnya hingga datang seorang guru pengawas  dan memberitahukan bahwa guru yang mengajarku pada jam pelajaran kedua sedang  berhalangan mengajar  dan kemudian meminta agar kami tidak membuat gaduh di kelas. Dan seketika itupula semua teman-teman berteriak kesenangan. Lalu satu persatu mereka sibuk denagn kegiatannya masing-masing. Ada yang tidur menelungkupka kepalanya diatas meja, ada yang membaca buku, ada yang asik mengobrol bahkan ada yang sempat-sempatnya menulis surat.

Aku mulai merasa suntuk dan tiba-tiba pikiranku tertuju pada buku itu. Hatiku  selalu mendesak untuk membacanya sampai akhirnya tanpa berpikir panjang ku  ambil buku itu dan mulai membacanya. Lembar demi lembar terus kubuka dan tepat  di lembaran tengah kutemukan sebuah tulisan menggunakan tinta biru yang  membuatku  terperanjat. Namaku terselip dalam rangkaian kalimat-kalimat  indah yang menyerupai syair tersebut. Semakin aku membacanya semakin tak karuan  rasanya hatiku.

Dear my secret admirer
Kala ku larut dalam lamunan…tampak bayangan dirinya menghampiriku,  kuterdiam tak mampu ungkapkan kata-kata. Menjadi tanda bahwa kumenyimpan sejuta  rasa rindu. Rindu ingin bertemu…rindu ingin bersatu…satu dalam ikatan  cinta…cinta yang ada dalam dihatinya. Seseorang yang menempati ruang khusus  di hatiku “ Khaerul Anwar “. Namanya bersemayam dalam ruang  cinta dihatiku. Aku  menyukainya, sungguh menyukainya

Wajahku memucat, tak menyangka. Apakah aku sedang bermimpi ? Hatiku  membatin. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata, orang yang selama ini selalu  berbuat baik kepadaku adalah dia. Silma, gadis yang selama ini selalu memikat  perhatianku, ternyata Ia menyukaiku. Ah..sungguh kebetulan yang tak kuduga  sebelumnya tapi aku bahagia, tiba-tiba ruangan kelasku serasa begitu berbeda  sekali seperti berada di antara hamparan bunga. Jiwaku terbang dan melayang  tinggi bersama kenangan waktu itu, saat pertama aku bertemu dengannya.

Aula tampak begitu ramai, suara para santri putra dan putri membahana disana  sini. Para dewan gurupun tampak kerepotan mengatur santri-santrinya yang memang  susah untuk diatur. Karena hari itu akan diadakan Final English Debatting  Competition yang diikuti oleh murid-murid kelas IV dan V Sekolah Menengah  Atas. Dan aku adalah salah satu pesertanya. Tiba-tiba terdengar suara salah  dewan guruku dari arah mikrofon yang ada di atas panggung pertemuan.

Perhatian..! hm…anak-anakku sekalian yang bapak cintai , bapak harap  kalian untuk segera duduk agar acara bisa segera dimulai, kalau kalian tetap  gaduh dan ribut seperti ini. Maka acaranya tidak bisa segera dimulai, dan ini  akan membuang-buang waktu saja karena acara kita pada hari ini kemungkinan akan  memakan waktu yang sangat lama, kalian paham? Nah sekarang duduklah yang rapih  sesuai intruksi para dewan guru-guru yang sedang mengatur kalian..!!” suara  Pak Willy yang mulai kesal.

Sekarang semua tampak rapih dan tenang, sang moderatorpun mulai mengambil alih  acaranya. Dengan sedikit basa-basi salam dan beberapa sambutan dari Kepala  Sekolah dan Pimpinan Pondok, kini tiba saatnya para peserta mulai dipanggil  untuk naik ke atas panggung pertemuan dan menempati kursi kehormatan yang telah  disediakan.

santriwan-santriwati  yang saya banggakan serta dewan guru sekalian  yang terhormat, dan inilah 5 finalis terpilih dalam English Debatting  Competition Pondok Pesantern Ar-Rahman yang akan bersaing pada malam hari  ini” Jelas sang moderator dengan bahasa inggris tentunya yang disambut  tepuk tangan meriah para santri dan dewan guru.

Ananda Ibnu Khaelani santriwan Kelas VI IPA C, Ananda Khaerul Anwar  santriwan Kelas V IPS A, Ananda Syabrina Fauziah santriwati Kelas V IPS B,  Ananda Narendra Fauzan santriwan Kelas VI IPA B, yang terakhir Ananda Nara Anggita santriwati kelas V IPA C”. Suara tepuk tangan bergemuruh meramaikan  Aula.

Disinilah awal aku kenal dengannya,waktu itu lawan debatku adalah dia. Dia  tampak begitu santai tapi setiap argumennya sulit untuk dipatahkan walaupun  akhirnya diapun kalah olehku. Ketika kami berdebat tengtang “ Courtship for the teens”.

Ketika moderator bertanya kepadanya mengenai “courtship” (pacaran). Dia berkata seperti ini “Thank so much Moderator for the time. Okay, I disaggree about it, why..??  karena seperti yang kita lihat, banyak sekali dampak negatif dari berpacaran.  Salah satunya hamil diluar nikah. dan ini mrupakan hal yang paling parah kalau melihat remaja-remaja jaman sekarang. Ini bukanlah hal yang sepele,  kejadian-kejadian seperti seharusnya bisa kita jadikan contoh untuk kita semua,  apalagi orang seperti kita yang menyandang status sebagai santri. Dan itu perlu  kita jauhi karena tujuan kita disini untuk menuntut ilmu bukan untuk berpacaran.  Dan seharusnya menjadi kewajiban kita untuk membawa teman-teman kita yang diluar  sana untuk tidak sampai terjerumus lebih jauh lagi karena kurangnya pendidikan  agama yang diperoleh, thanks.” Jelasnya dengan penuh percaya diri.

Ohw…very good, how about you Khaerul Anwar..??”. Sang moderator melemparnya kepadaku untuk melawan argumennya. Dengan tenang aku mulai menjawab. “ thanks, hmm…you’re so right but I’m sorry, I aggree! Begini, perlu anda  ketahui bahwasanya berpacaran hanyalah sebuah sarana untuk kita agar saling  mengenal satu sama lain dengan pasangan kita tentunya. Buat saya pacaran itu  tidak jadi masalah, selama itu didasari oleh rasa cinta yang besar. karena sifat  cinta bukan untuk merusak  tapi membangkitkan semangat ruh dan jiwa. Cinta  memotifasi hidup kita, begitu pula cinta kita kepada Tuhan yang  menggerakkan ruh dan jiwa kita untuk beribadah kepadanya, bukankah begitu??  Karena berpacaran butuh cinta yang kemudian benar-benar menjadi sebuah  sarana dan tergantung kepada kita bagaimana menggunakan sarana tersebut, dan  perlu anda ketahui tanpa cinta hati akan menjadi hampa dan tanpa pacaran hatipun kadang bisa menjadi gelisah”.

“ wow…good answer boy! hmm…but I want to ask you, kalau boleh saya memberi  tahu buktinya banyak orang-orang dulu yang menikah tanpa pacaran bisa langgeng  sampai sekarang”. Pancing sang Moderator.

Thanks for the question, seperti yang kita ketahui jaman sudah berubah  bukan seperti jaman orang-orang yang lebih dulu dari kita, kalo kita masih  seperti jaman dahulu maka kita akan tertinggal karena jaman seperti laju kereta  api yang melaju kedepan bukan kebelakang, itulah jaman. Buktinya sekarang saja  banyak pesantren-pesantren yang bertitel modern, bukankah begitu??”.
Yeah..I aggree, hmm…how about you Nara?”sambung si Moderator

“ Aku tetap pada pendirianku, tidak setuju karena tetap  berpacaran  akan merusak hidup kita”. Entah kenapa tampaknya dia mulai gugup.

Kalau begitu apakah anda pernah jatuh cinta kepada seseorang selain Tuhan  dan keluarga anda. Dan apakah anda akan diam saja dan menyimpannya jauh dalam  hati anda” desakku.

Ya..tapi saya rasa tidak harus berpacaran” Dia membantahnya.

Baiklah, sekarang saya ingin bertanya jika anda orang yang jujur. Tidak  adakah dalam benak diri anda, sebuah keinginan untuk merasakan apa itu cinta dengan  berpacaran??” kembali aku mendesakknya dengan nada agak lebih tinggi.

Kemudian dia terdiam tak mengucapkan sepatah katapun. Raut wajahnya mulai  tampak kebingunan. Sungguh cantik sekali kalau dia tampak gugup   seperti itu, kembali hatiku membatin.

           Tiba-tiba bel istirahat berdering membuyarkan  lamunanku. Teman-temanku telah keluar terlebih dahulu, meninggalkan aku yang baru tersadar dari lamunan. Segera aku bergegas merapikan buku-buku pelajaranku untuk menyusul mereka. Namun ketika aku beranjak  keluar, langkahku terhenti oleh sosok gadis yang berdiri tepat di ambang pintu  kelas. Dia terlihat sedikit berantakan. Tampak seperti orang yang habis lari marathon. Tetapi parasnya yang cantik tidak  menghapus keanggunannya. Dia menatap kearahku, nafasnya tampak tidak beraturan.  Terlihat sekali bahwa dia sangat lelah sekali karena berlari dari ujung ke ujung menuju kelasku. Aku masih tetap mematung di tempatku.  Dengan nafas terengah-engah kemudian dia menyapaku.

khaerul Anwar?“ tanyanya walaupun aku tahu dia sudah  pasti mengenalku.

ya “ jawabku singkat agak sedikit gugup.

maaf, semalam bukuku tertinggal disini ketika sedang belajar malam.  Apakah kamu melihatnya ?” tanyanya lagi terlihat khawatir. Aku merasa  bingung untuk menjawabnya tetapi aku tahu, aku tidak boleh berdusta. Akhirnya  akupun berterus terang bahwa aku menemukannya di kolong meja dan meminta maaf karena telah membacanya tanpa sepengetahuannya. Kemudian kuserahkan buku itu kepadanya.  Dia Nampak kaget mungkin dia khawatir aku telah membaca bukunya. Aku pun ikut khawatir dia akan marah dan membenciku. Namun setelah kami berdiam agak  lama, dia pun bicara “aku tahu, rahasia tidak selamanya akan tersimpan. Dan kamu tidak perlu  meminta maaf, justru aku yang merasa malu dan tidah enak karena telah diam-diam  menyukaimu bahkan mencintaimu”. Ucapnya yang begitu yakin aku telah membaca bagian yang itu.. Kemudian dia berbalik arah pergi  meninggalkanku. aku tak tahu, apa yang harus aku lakukan dan katakan kepadanya  namun tidak akan kubiarkan kesempatan ini terlewati begitu saja.

tunggu!!” panggilku. Dia berhenti tanpa menengok kearahku dan  diam.

Aku pun menyukaimu” kalimat itu terlontar begitu saja  dari mulutku. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan setelah mendengarnya. Tetapi  hatiku bergetar kencang sekali. Kemudian dia berlari pergi meninggalkanku tanpa  mengucapkan sepatah katapun. Tapi aku yakin dari raut wajanya yang memerah, dia  merasakan apa yang aku rasakan.
                                                                        Selesai…